Cyclops

Facts

  • Elevation: 2,034 m (6,673 ft)
  • Prominence: 1,893 m
  • Ribu category: Tinggi Sedang
  • Province: Papua
  • Google Earth: kml
  • Rating: 1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (Bagged it? Be the first to rate it)
    Loading...
  • Other names: Cycloop, Gunung Dafonsoro

Photos

Bagging It!

This mountain range is very close to the city of Jayapura and Jayapura airport. It is probably best approached from near Sentani Lake to the south. There are two peaks of a very similar height (both around 2,000m) about 2 kilometres apart. A GPS reading (in the comment below) of 2,034m was supposedly logged at one of the peaks – but it’s unclear which one or what kind of device was used. It seems that the eastern peak is higher according to DEMs and 2,034m is a reasonable figure for now.

Local Accommodation



Booking.com

Practicalities

  • Getting there: The mountain lies close to Sentani airport.
  • Permits: Unknown
  • Water sources: Unknown – assume none

Local Average Monthly Rainfall (mm):

jayapura

Location

7 thoughts on “Cyclops”

  1. Hi Dan, please check this out :
    http://davidrahawarin.wordpress.com/

    Pendakian saya pertama kali ke puncak pegunungan Robong Holo pada tahun 2007 tepatnya tanggal 26 Oktober 2007 dalam rangka merayakan hari Sumpah Pemuda bersama Club Pencinta Alam Hirosi, menjadi salah satu sejarah dalam hidup saya, terutama dalam menerapkan pola hidup sehat dengan tidak merokok, tidak mengkonsumsi miras dan narkoba, serta tidak menganut paham free sex. Pertama kali saya diajak oleh salah satu teman karib saya waktu semasa kecilku, dia adalah Fransisco Weriditi atau sapaan yang sering kami panggil namanya dengan Chichoe/Chiko. Chichoe sendiri adalah salah satu orang penting dalam Club Pecinta Alam Hirosi (Hibiscus Rossa Sinencis) Provinsi Papua dengan Jabatan sebagai Sekertaris. Chichoe mengatakan kepada saya bahwa jarang sekali para pemuda Indonesia dalam hal ini generasi muda penerus bangsa Indonesia melakukan kegaiatan positif yang dapat memberikan dampak dan efek kepada orang lain yang bersifat positif juga. Salah satu tujuan pendakian ke Robong Holo adalah guna mencatat/mendata ulang tentang ketinggian salah satu puncak Pegunungan Robong Holo dari tiga puncak yang ada. Untuk itu maka Chichoe mencoba mengajak saya agar ikut serta dalam pendakian ke puncak pegunungan tersebut. Sdr. Chichoe membuka ajakan tersebut pada tanggal 22 Oktober 2007, namun pada saat itu saya masih dalam keadaan kurang enak badan (sakit) sehingga sedang menjalani pengobatan serta penyembuhan. Namun saya kemudian berpikir bahwa kegiatan ini dalam rangka semangat hari Sumpah Pemuda, mengapa saya harus ragu? hal ini terjadi dalam benak pikiran saya dan bergejolak semangat untuk ikut serta. Serasa disiram oleh air kesegaran, rasa sakit itu tiba-tiba hilang dan yang ada adalah sehat. Kedua orang tuaku bingung, “neh…anak agak aneh, begitu mau naik gunung langsung sehat” kata Bapakku. Tanggal 24 Oktober 2007, saya menghubungi Chichoe untuk mengkonfirmasi bahwa saya akan ikut pendakian, sontak temanku ini keheranan…dia berkata “lho kemarin itu kan kamu masih tiduran di kamarmu dan berjaket? kok sekarang malah mengajukan diri untuk mendaki? apakah kamu benar-benar sudah siap? tanya dia lagi lewat telepon seluler”. Kemudian saya menjawab “hei…teman kesempatan ini kapan lagi akan terulang, hal ini sejarah yang sedang dibuat, dan tentang kesehatanku…jangan ragu, saya sudah sehat” tambah saya. Lalu setelah lewat pembicaraan dan diskusi kami berdua maka, sdr. Chichoe mendaftarkan saya ke panitia pendakian puncak pegunungan Robong Holo. Maka tanggal 25 Oktober 2007, kami segera berkumpul melakukan breafing sebelum pendakian pada tanggal 26 Oktober 2007 yang saat itu di rencanakan pendakian dilaksanakan pada pukul 08.00 WIT. Salah satu hal yang kami siapkan adalah direncanakannya pemasangan/pembuatan monumen ketinggian, sehingga setiap peserta pendakian di wajibkan membawa 1-2 kilogram pasir serta 1 kilogram semen. Total berat beban yang dibawa adalah kurang lebih 10-12 kilogram, hal ini diperhitungkan agar tidak mengganggu dalam perjalanan pendakian. Tibalah hari H melakukan pendakian, kami berkumpul di Jalan Sosial Sentani dekat dengan Kompleks Batalyon Yonif 751 pada Jam 07.00 WIT dan melakukan Doa bersama sebelum pendakian sekaligus pengecekan terakhir. Jam 08.00 WIT bergeraklah kita dari Mata Jalan Sosial menuju ke arah perumahan BTN Sosial Sentani dan akhirnya sampai pada jalan alternatis Sentani yang menghubungkan Kantor Bupati Kab. Jayapura samapai Ifar Gunung. Jam 09.00 WIT kami sampai di bawah kaki pegunungan Robong Holo, kami menyempatkan diri untu dapat bersantai sejenak, Jam 09.15 WIT kami melanjutkan perjalanan dan langsung disambut dengan tanjakan yang disebut “Tanjakan Aduh Mamae”. Tanjakan ini merupakan awal dari pendakian, setelah kami semua melewatinya yang memakan waktu kurang lebih 15 menit, maka kami menemui jalan yang agak sedikit menyenangkan hati, maksudnya jalan tersebut sedikit nanjak namun landai kurang lebih 200 meteran. Kemudian kami sembari mengambil nafas dengan beristirahat dibawah pepohonan dikaki Pegunungan Robong Holo dan menurut perhitungan GPS kami telah berada di ketinggian 400 mpl. Setelah melepas lelah sejenak maka kami kembali melanjutkan perjalanan dengan kemiringan tanjakan kira-kira 45 derajat, sehingga beban pikulan kami semakin terasa berat namun semua terasa ringan karena para pendaki saling berbincang0bincang serta bergurau untuk saling menyemangati bahkan kadang saling berkelakar untuk menghilangkan rasa capek. Tanpa disadari kami telah sampai pada ketinggian 600 mpl dimana terdapat mata air terdekat pada jalur jalan yang kami lalui, kata beberapa orang pendaki bahwa mata air tersebut dulunya sangat deras namun setelah terjadi perambahan hutan maka debit air menurun drastis sehingga jika ingin menampung air untuk minum harus sedikit bersabar. Setelah melepas dahaga kami melanjutkan perjalanan lagi, dan kali ini perjalanan pendakian kami menemui kemiringan tanjakan kira-kira 60-75 derajat. Dalam perjalanan kami yang baru/pemula sering mengalami kejang otot kaki sehingga sebentar-sebentar beristirahat untuk terapi singkat semampu kami dengan persiapan P3K pribadi (salep pengendor otot yang tegang) hingga kami tiba di tempat peristirahatan terakhir dimana terdapat mata air terakhir di ketinggian 900 mpl, selama perjalanan kami sering menjumpai para penghuni hutan diantaranya Ular, Burung dan lainnya. Dalam istirahat kami ini, kami saling berbagi cerita tentang berbagai hal hingga waktu tak terasa telah menunjukan 16.00 WIT, kemudian kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, namun disini kami merupakan kloter terakhir yang terdiri dari 8 orang diantaranya Sdr. Chichoe dan saya yang merupakan pendaki pemula mendapat tanggung jawab untuk memikul terpal yang akan menjadi tenda inap kami di area perkemahan. Hambatan itu kami atasi dengan saling kerja sama memberikan terpal dari bawah di operkan/lemparkan dari paling bawah ke teman diatasnya sampai pada teman paling atas kemudian kami mendaki lagi hingga kembali terpal pada posisi di orang terakhir dan berulang-ulang terus hingga kami sampai di ketinggian 15oo mpl, kami dibantu oleh “pasukan naruto/densus 88″ club (Shelter, Ricky, Luther, Rendra, Frits, Nikis, Warner, Yessy dan kawan-kawannya) untuk mengangkat tas serta terpal bawaan kami, kami masuk/tiba di area perkemahan sekitar 1800 mpl jam 24.00 WIT, sedangkan teman-teman pendaki yang lainnya telah sampai pada jam 18.00 – 20.00 WIT sehingga kalo dihitung-hitung lama perjalanan pendakian kami untuk sampai pada area perkemahan kurang lebih memakan waktu 15 jam lamanya. Begitu sampai rombongan kami ini tanpa berkelakar lagi dan langsung mencari tempat untuk beristirahat tanpa terpal pelindung dan kebetulan pada saat itu cuaca dalam keadaan cerah sehingga dari bawah pepohonan yang besar-besar terlihat bulan purnama yang terasa begitu dekatnya dengan bumi. Dalam hatiku memuji syukur kepada Yang Maha Kuasa karena dengan perlindungan-Nya kami dapat tiba dengan selamat serta memberikan cuaca dan alam yang begitu indah bagi kita umat manusia. Akhirnya kami tertidur lelap dalam kelelahan kami semua, dan tibalah pagi yang ceria, saya disambut oleh senyuman para pendaki yang memberikan selamat dan menyapa kami karena mampu mendaki hingga tiba bersama mereka di area perkemahan sekaligus kami sarapan pagi bersama, sebelum melakukan pendakian ke puncak tertinggi waktu tepat pukul 07.30 WIT, sambil sarapan kami kembali melakukan breafing untuk memastikan apa yang telah disiapkan/sejauh mana persiapannya dan kesiapannya selama kurang lebih 30 menit lamanya. Hingga tepat jam 10.00 WIT sesuai dengan kespakatan bersama dalam breafing, maka kami mulai mendaki lagi menuju puncak tertinggi disepanjang pegunungan Robong Holo (Cyclops). Selama pendakian saya sudah tidak mengalami kesulitan lagi, hal ini mungkin terjadi akibat dari tubuh telah dapat menyesuaikan/adaptasi dengan cuaca/iklim sekitar, jalan menuju puncak pun tidak terlalu curam seperti sebelumnya pada awal-awal pendakian. Setelah kami sampai pada peristirahatan pertama dan terkhir kurang lebih di ketinggian 1800 mpl diarea sekitar jatuhnya pesawat sekutu pada perang dunia ke 2, kami melanjutkan pendakian hingga pada titik ketinggian 2034 mpl (dalam GPS) yang menunjukan titik tertinggi, pada saat itu waktu menunjukan jam 12.30 WIT dengan keadaan cuaca sedikit berawan. Setelah itu, kami beristirahat sejenak dan kemudian dilanjutkan dengan membangun monumen/prasasti yang menunjukan titik tertinggi pada puncak pegunungan Robong Holo (Cyclops).

  2. I experienced a bit similar case. My guide in Papua didn’t arrive at the agreed time, due to his disability to wake up early in the morning. 🙂

  3. After having planned a trip to Papua for many months, in order to climb the very accessible Cyclops mountain, I finally arrived in Sentani on Friday after flying overnight from Jakarta via Makassar.
    There are some excellent views of the range and also Sentani lake as planes swoop down to land. I got a very good view of the highest peak, which lies pretty close to Sentani town.
    Despite Cyclops being a very prominent range just a few kilometres from Papua’s main airport and less than an hour’s drive from Jayapura, I had found very little information on routes from searching on the internet. However, I had finally gotten in touch with a Westerner who has lived in the Sentani area for most of his life. He was keen to climb the mountain again (it would be his second time) and we decided on this weekend as one which was convenient for us both. He kindly arranged a ‘surat jalan’ for me in advance and booked me into a local hotel, very much appreciated. I was never actually asked for the ‘surat jalan’ and I’m not sure you really need one for the Jayapura/Sentani area (which covers the Cyclops mountain range).
    We met and he said he had arranged a Papuan guide to take us up on the Saturday. I asked about the origins of the name Cyclops, mentioning that the Dutch had called it Cycloop on maps. He said there used to be an area of vegetation near a waterfall close to the start of the trail which looked like one eye glaring at you. Apparently it’s not so visible anymore. A friend of his has climbed to the top just two weeks ago and there is a trail right to the top which is used fairly often.
    Some locals call the mountain ‘Dafansoro’ (at least phonetically).
    After some food in Mickey’s, I decided to get some sleep.
    It rained constantly from 9pm until past 9am on the Saturday morning and, given that the hike requires about 8-10 hours and the terrain is very steep, we had ideally wanted to start at about 5am – also to avoid the worst of the heat as the trail starts at not much more than 100m above sea level, so that’s about 1900m elevation gain! We decided that we would climb on the Sunday instead – my last available day on which to climb so I said we had to go whatever the weather – luckily the forecast was pretty good.
    Later on, yesterday (Saturday), he let me know that he would not be able to join me on the hike on Sunday for family reasons but that the guide would meet me outside my hotel at 5am. I was somewhat disappointed he wouldn’t be coming as we had planned this weekends a couple of months previously. Anyway I took him and his kids for a quick meal as a way of saying thanks for helping me arrange the hike. He gave me the HP number of the guide and I sent a text message
    to confirm we would meet at 5am. No reply, but I was fairly confident he would show up, even if a little bit late. I spent the rest of the day having a look round Jayapura. stopping for a kelapa muda at one of the huts overlooking the very picturesque bay, and making a quick trip up to the MacArthur monument near Sentani which offers great views over the lake and airport. This is at the eastern end of the mountain range and the notable lesser peak near here appears to be called Gunung Ifar.
    I woke up this morning at 4.30am and shot downstairs to grab a coffee before standing outside waiting for the guide from about 4.50am to whom I sent another sms to say I was waiting. After an hour, I sent a message to the guy who had helped arrange the guide and a second message to the guide saying we must set off soon and the weather was perfect – blue skies, while much of Western Indonesia was suffering from storms. No reply from either. I waited until 7am and still no word from anyone. I sms’ed them both again to ask for an alternative guide or explanation of what was going on and nothing came back. I decided to go back to my room and watch TV while waiting, presumably, for the guide to get up and get over here. It never happened.
    Time was running out and it was too late to find a replacement guide and not a good idea to attempt a hike alone so I really didn’t know what to do.
    At about 9.30 I received a call from the guy who helped me ‘arrange a guide’ to say he had just been called by the guide to say he couldn’t do it today. Talk about unreliable.
    So, a ridiculous distance to travel and a huge price to pay and I don’t even get started on the hiking trail. It has certainly been interesting to experience Papua and my humour at such a ridiculous trip ending in failure has slightly calmed me down. Very expensive though, and the lack of manners on the guide’s part, seemingly unable to reply to say he couldn’t make it, in time for me to look for a replacement, has not exactly made me regard him with much respect and has been a sad introduction to the people of Papua.
    Hiking can be notoriously difficult in this province but Cyclops is one of the few that definitely is baggable and I hope others will have a better experience – just remember to have plenty of alternative guides ready. Also, be sure you get to a suitable starting point for the highest part of the range.
    After December’s weekend trip to bag Salahutu (Ambon island) ended in not reaching the highest peak (locals don’t go there!) I didn’t think I would experience a bigger failure for quite some time. Well, here it is. It definitely gets the prize for most ridiculous Gunung Bagging fail so far, but I am pleased to have at least seen some of this interesting province.
    Dan (still stuck on 35 Ribus)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top